www.blog.calesmart.com
Juni 12th, 2017 by Catur Budi Waluyo

Kalo bicara tentang linearitas, mungkin banyak orang berasumsi bahwa gelar S1, S2 nya sama, misal kalo S1 teknik elektro maka S2nya harus teknik elektro, Sehingga menurut blog yang saya baca disini akhir-akhir ini Dikti mensyaratkan linieritas pendidikan bagi dosen yang akan mengajukan jabatan fungsionalnya ke jenjang Guru Besar (profesor). Dengan cara ini diharapkan para guru besar mempunyai kepakaran yang tinggi sesuai dengan pendidikannya.

Saat ini ada kecenderungan melinierkan sesuatu yang sebenarnya memang tidak (perlu) linier. Memang ada yang bisa mempunyai hubungan yang linier, dari satu titik ke titik berikutnya membuat sebuah garis lurus.  Apalagi dalam jangka (atau jarak) pendek. Tapi banyak hal yang memang tidak linier. Jalan yang berliku, jalan yang tidak lurus. Sayangnya, seringkali yang tidak linier tersebut hanya bisa dicari solusinya dengan cara membuatnya menjadi linier, dengan merubahnya ke dalam bentuk logaritma, atau natural logaritma.

Perlu diinfokan, untuk menempatkan dosen di homebase tertentu (bidang penugasan) atau ditugaskan mengajar di mata kuliah mana adalah wewenang pimpinan PT, mau ditempatkan sesuai gelar akademik S1 atau S2 itu hak pimpinan PT (otonomi kampus), Dikti tak bisa intervensi. Lalu kenapa masalah linear ini selalu dipermasalahkan, tak lain karena :

a) Bagi PT, berpengaruh terhadap nilai akreditasi Ban-PTnya yaitu di penilain Standar ke 4 Sumber Daya Manusia, di situ akan dinilai Kesesuaian keahlian dosen (baik dosen tetap, dosen LB atau dosen honor) apa sesuai dengan bidang penugasannya dan matakuliah yang diajarnya apa sesuai dengan gelar akademiknya. Akreditasi merupakan merek mutu dari PT, semakin bagus peringkat akreditasi semakin banyak calon mahasiswa yang datang mendaftar, dana masuk lancar membuat PT (terutama PTS) bisa lancar beroperasi, dan akreditasi yang bagus juga akan turut menaikkan peringkat PT di kancah dunia pendidikan.

b) Bagi sang dosen, selain berpengaruh ke kesempatan melamar/pindah homebase/mengajar ke PT yang dia minati, juga berpengaruh ke Kum dari nilai ijazah yang dia peroleh, kalo linear kum ijazah ( S3 =200, S2 =150, S1 =100) sementara bagi yang tak linear (kum S3 =15, S2= 10, S1= 5), dan bagi dosen yang mengajukan kenaikan jabatan akademik ke GB, seandainya berhasil, gelar jafung GB yang diperoleh akan mencantumkan bidang penugasan sesuai dengan bidang ilmu (gelar akademik terakhirnya). Contohnya bagi dosen yang bergelar S3 manajemen sedangkan S2nya lulusan akuntansi, maka dia hanya bisa peroleh gelar Profesor dengan bidang penugasan Manajemen.

Seperti kata Pak Muchdie, Ir., MS, PGDiplRD., PhD pada blog bpk djadja.:

Masalahnya ada disiplin ilmu yang integrated, yang dibentuk dari berbagai disiplin ilmu yang lain. Ilmu Manajemen bisa linier, bisa juga tidak linier. Mereka yang mengambil S-2 Ilmu Manajemen, bisa dan boleh berasal dari bidang ilmu yang lain. Dimana-mana ini berlaku. Mereka yang lulusan Sarjana Teknik yang ingin memperdalam Manajemen Produksi atau Manajemen Teknologi, bisa saja mengambil S-2 Manajemen. Konsentrasinya kemudian, sesuai dengan pilihannya. Apakah ini tidak boleh? Tidak diakui dalam penjenjangan kepangkatan akademis?

untuk jawabannya bisa di buka file berikut ini.www.blog.calesmart.com

Semoga surat di atas valid dan sesuai dengan keadaan sekarang ini. semoga bermanfaat.

Posted in Artikel Tagged with: , , ,

www.calesmart.com
Agustus 10th, 2016 by Catur Budi Waluyo

Kira-kira Ketika mendengar sebutan “Dosen”, maka yang pembaca bayangkan adalah seorang (pria/wanita) pendidik yang ada di perguruan tinggi. Dalam jenjang pendidikan dosen ini minimal harus bergelar master atau telah lulus jenjang pascasarjana S2. Namun, ada realitas tersembunyi yang tidak semua orang tahu mitos tentang nasib dosen. Setelah saya membaca artikel dari link ini, saya semakin mengurut dada, gimana dosen bisa fokus mengajarkan ilmunya ke mahasiswa jika hak dari dosen tidak di berikan malah di tuntut mengerjakan hal-hal yang sebenarnya bukan dari tugas dan kewajiban dosen, kalo di ambil benang merahnya yaitu diosen tidak hanya di tuntut mengerjakan tri dharma perguruan tinggi juga mengerjakan masalah administrasi yang seharusnya bukan job dari dosen…. sedih :(. sehingga tidak sedikit dosen yang di dorong untuk “mengarang bebas” pada penelitiannya.

Setelah saya coba “gali” ternyata ada 3 hal yang menjadi masalah besar di dunia pendidikan: yang pertama: keinginan untuk persamaan hak antara staf administrasi dan dosen, kedua: rekan kerja yang merasa “eksis”, yang terakhir adalah atasan “buta” undang-undang tetapi di beri wewenang untuk membuat undang-undang.

Kalo kita coba breakdown masalah yang pertama yaitu keinginan untuk persamaan hak, masalah hak akan timbul jika ada kewajiban. kalo misalnya kewajibannya beda, menurut pembaca kira-kira haknya akan sama gak?jelas enggak khan?nahh, itu lah masalah yang tidak semua orang bisa memahaminya. kalo kita ambil contoh misalnya dosen harus datang jam 08.00, setelah nyampe kampus dosen tidak di perkenankan keluar kantor alias “jaga kandang” dan hanya boleh pulang setelah jam 17.00.. tapi kalo bahan ajar dosen ketinggalan di rumah, masak sich gak boleh pulang? nah itulah kenyataanya. meskipun pulang mau ambil bahan ajar, orang lain pasti hanya beranggapan Pak A pulang bla bla bla dan setrusnya.. selama di kampus dosen harus melayani mahasiswa meskipun jam istirahat jika dosen pulang sebelum jam itu, maka dengan seenaknya bilang ” Anda besok saya kasih surat cinta ke 1″.(ini kek nya kembali ke jaman rodi kali y.. 🙂 ). kalo staf admin di kasih aturan begitu wajar, karena dia memberikan pelayanan kepada mahasiswa yang berupa administrasi, tapi kalo dosen di beri aturan seperti itu, kira2 upgrade dirinya kapan y?kasihan dosen y ckckck….singkat cerita ternyata ada aturan itu karena ada staf admin yang merasa tidak suka kalo dosen tidak terikat di kampus. btw kalo staf admin merasa iri dengan dosen, mbok ya bantuin tri dharma perguruan tinggi dari pada bla bla bla…

kalo poin kedua ini mungkin ada korban yang merasa sakit hati, wow sampai segitunya, ya iyalah,.. yang pastinya kalo ada rekan kerja merasa eksis pastinya beliau ada ketergantungan terhadap institusi, kok bisa? biasanya kalo ada rekan kerja terkena penyakit ini maka  dengan sekuat tenaga dan pikiran dia akan bilang “saya patuh dan taat”, nyampe dia lembur malam tanpa dibayar.bukannya kita harus sedikit-sedikit uang tapi kita melihatnya dari sudut pandang yang lain. kalo kata sesepuh “sebelum mepimpin orang lain alangkah baiknya memimpin diri sendiri dan kluarganya”…. kalo seharian dari jam 8 sampai jam 17.00 harus di kampus tok , kira2 kapan kita bisa mengajari anak atau kluarga sendiri? padahal tugas dosen itu mencerdaskan anaknya orang lain. ciri selanjutnya jika rekan kita merasa eksis yaitu jika ada sesuatu yang tidak ia inginkan, maka dengan cepat dia akan bilang” besok kamu akan saya kasih surat cinta 2″… ckckck. surat cinta kenaikan honor sich gak masalah, tapi kalo sesama rekan kerja merasa ada atasan dan bawahan itu yang membuat lingkungan gak kondusif kerja.padahal jika masa jabatan selesai maka dia akan menjadi dosen biasa. ckckck (ternyata jabatan tidak selamanya y..)

kalo poin ketiga sebenarnya mimin sudah singgung di poin pertama dan kedua. tapi lebih jelaskan ikuti jejak mimin di blog ini y….oiya mimin lupa mau coba jelaskan mitos2 dosen yang tidak semua orang tahu…ni artikel buat mimin bagus dan inspiratif banget dan untuk mengingatkan mimin kalo suatu saat mimin mendapat amanah untuk menjabat struktural.

Berikut ini saya mencoba menjelaskan mitos-mitos tentang nasib dosen yang tidak semua orang tahu.

Dosen berpendidikan tinggi.

Dosen memang harus berpendidikan tinggi. Undang-undang tentang dosen mewajibkan dosen yang mengampu di semua jenjang pendidikan harus lulus magister. Malah ada aturan administratif yang menjelaskan bahwa dosen yang ingin naik jabatan fungional ke Lektor Kepala harus sudah selesai pendidikan doktor atau S3.

Untuk menyelesaikan doktor pun sang dosen harus mengorek tabungannya sendiri dan pihak perguruan tinggi dengan berbagai dalih seperti angkat tangan dengan  biaya yang dikeluarkan dosen. Malah ada dosen yang sekolah sampai ke luar negeri dan di perguruan tinggi ternama. Sayangnya pendidikan tinggi ini tidak selaras dengan upah yang diterima.

Dosen bergaji tinggi.

Nah, ini adalah mitos yang sebenarnya sebagian besar patut dikoreksi. Buat mereka, khususnya dosen yang ada di perguruan tinggi swasta (PTS), bergabung dengan kampus yang mahasiswanya banyak dan modal PTS-nya besar, maka sang dosen akan mendapatkan gaji beserta tunjangan yang layak.

Nah, sayangnya tidak semua dosen memiliki kesempatan untuk bergabung menjadi PNS Dosen atau PTS yang bagus. Ada dosen yang “terpaksa” bekerja di PTS yang hanya menggaji dosen dengan ala kadarnya saja. Bahkan ada perguruan tinggi yang memberikan upah per  bulan sekitar Rp500 ribu dan baru ditambah honor mengajar per sks. Sayangnya lagi ketika liburan semester seperti Juli-Agustus yang cenderung tidak ada jam mengajar, maka sang dosen hanya menerima upah saja tanpa pemasukan yang lain.

Upah Dosen yang mengurut dada.

Jangan bayangkan dosen bisa bergaji tinggi apalagi saat menjadi dosen honor. Ada perguruan tinggi yang memberi upah Rp50 ribu per masuk dengan beban 3 sks. Bayangkan selama 1,5 sampai 2,5 jam dosen yang sudah menyandang gelar master atau doktor itu hanya diberi upah Rp 50 ribu saja.

Dosen bekerja santai.

Mungkin sebagian orang termasuk mahasiswa banyak yang melihat dosen di kelas bekerja dengan santai. Dosen hanya masuk pada saat mengampu di jam-jam matakuliah yang sudah ditentukan. Bahkan ada dosen yang sekadar memberikan tugas dan mahasiswa yang bergantian diskusi di kelas.

Bahwa ada nasib dosen yang tidak semua orang tahu soal pekerjaan dosen. Dosen tidak sekadar bekerja di kelas saja atau unsur pendidikan saha, ia harus menerapkan tridharma perguruan tinggi seperti penelitian dan pengabdian. Dua unsur ini kadang memberikan atau lebih tepatnya menyita waktu dosen dengan segala aturan-aturan administrasi yang kadang membuat banyak dosen putus asa.

Dosen administratif.

Sayangnya, pekerjaan dosen yang semestinya lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa di kelas atau lapangan praktik sering dipaksa untuk berkutat dengan pekerjaan administratif. Setiap waktu dosen harus mengerjakan laporan-laporan terkait pekerjaan yang menjadi bebannya sebagai dosen.

Belum lagi ditambah tugas-tugas yang diberikan oleh yayasan tempat perguruan tinggi dosen tu bernanung. Yayasan sering memberikan target kepada dosen per semester, misalnya untuk ikut seminar nasional, mempublikasikan jurnal, menjalin kerjasama dengan pihak lain, dan membuka jaringan. Sayangnya target-target itu tidak disertai dengan dukungan dana dari pihak yayasan, kalaupun ada jumlahnya hanya secukup-cukupnya dan ada kemungkinan dosen yang nombok.

Dosen yang terpenjara.

Selain pekerjaan administratif, nasib dosen yang tidak semua orang tahu adalah dosen sebagai pekerja kadang terpenjara oleh perguruan tinggi tersebut. Dosen dengan upah seadanya dipaksa untuk memberikan pengabdian 101 persen kepada yayasan atau pihak institusi perguruan tinggi.

Sayangnya, ketika dosen sudah sadar dan ia mendapatkan tawaran pindah homebase ke perguruan tinggi lain seringkali pohak yayasan enggan bahkan menolak melepas sang dosen. Ada saja alasan demi alasan untuk menjegal upaya pindah dan bahkan ada saja yang sengaja menghilangkan data dosen di sistem komputer dosen yang apalagi telah memiliki NIDN atau Nomor Induk Dosen Nasional. Akirnya dosen seperti terpenjara dan tidak bisa mengembangkan dirinya.

Posted in Artikel Tagged with: , , , , , ,